Jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa membaca al Quran,
berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi al Quran. Jika kamu
memusuhi orang yang berbeda Agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan
itu bukan Allah tapi agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral ,
berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah tapi Moral. Pertuhankalah Allah bukan
yang lainnya dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah kamu harus menerima
semua mahkluk karena begitulah Allah. (Gus Dur)
K. H Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita sapa dengan nama Gus
Dur merupakan salah satu tokoh sangat fenomenal sekaligus kontroversial baik
berupa pemikiran, tingkah laku
(tindakan) maupun ucapan dari bebagai aspek kehidupan, seperti halnya tentang
politik, agama, kebudayaan, sosial, kemanusiaan dan lain sebagainya. Berbicara
tentang Gus Dur seakan tak akan habisnya, banyak hal yang menarik untuk ditelaah
dan untuk kita maknai dan pelajari. Beliau merupakan seorang mantan presiden Republik
Indonesia ke 4 yang juga dikenal juga sebagai kiyai sekaligus negarawan sejati.
Banyak pemikiran - pemikiran dari beliau yang membuat sebagian orang terkejut
dan berdecak kagum kepadanya. Berkat pemikiran dan tindaknya sampai saat ini
beliau masih dikenang sebagai seorang tokoh pemikir dan pejuang demokrasi,
pluarisme, tokoh anti kekerasan, memebela kaum yang termarjinalkan sekaligus
pelindung bagi kaum minoritas agama, etnis, gender, keyakinan dan lain
sebagainya.
Seperti halnya peribahasa “Harimau mati meninggalkan belang, gajah meninggalkan
gading, dan manusia mati meninggalkan nama” sampai akhir hayatnya sosok Gus Dur
seakan masih menjadi magnet bagi bangsa Indonesia. Gus Dur meninggalkan kesan
yang mendalam bagi kehidupan Indonesia. Di mana walaupun sosoknya telah lama
pergi tahun meninggalkan kita, namun pemikirannya maupun tindakanya tak henti
menyalakan inspirasi serta warisannya bisa kita nikmati hingga saat ini.
Sebuar Perjalanan, Kelahiran dan kematian
K.H Abdurrahman
Wahid merupakan putra daerah yang terlahir di jombang, 07 September 1940. Ia
merupakan putra dari K.H Abdul Wahid Hasyim dan Nyai Sholehah, sedangkan
kakeknya merupakan seorang ulama besar KH Muhammmad Hasyim Asyari seorang tokoh
pendiri Nahdlatul Ulama.
Semasa
Kecil Abudurrahman Wahid sering di namai Abdurrahman "Addakhil".
Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah
nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti
Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan
kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti
nama"Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan
panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren
kepada seorang anak kiai yang berati"abang" atau "mas".
Masa
kecil Gus Dur dikenal sebagai pribadi yang haus akan ilmu dan membaca. Gus Dur
tumbuh menjadi seorang putra yang kaya akan prestasi diamana ia terbiasa
memunculkan ide ide pemikirannya dalam tulisan serta dikenal mempunyai
kemampuan bahasa arab dan inggris yang baik. Berkat kemampuan tersebut Gus Dur
sempat mengenyam pendidikan di Universitas Al – Azhar di Mesir namun tidak
diselesaikanya dikarenakan suatu hal. Kemudian ia kembali menempuh pendidikan
kembali di fakultas sastra di Universitas Baghdad di Irak yang diselesaikanya
pada tahun 1970.
Sepulang dari kuliah di luar negeri pada tahun
1974, Gus Dur memulai karirnya sebagai ‘Cendekiawan’ dengan menulis di berbagai
kolom di berbagai media massa nasional. Pada akhir dasawarsa 70-an suami Shinta
Nuriyah ini mengukuhkan diri sebagai salah satu dari banyak cendekiawan
Indonesia yang terkenal dan laris sebagai pembicara publik. Karir Abdurrahman
Wahid ketika tinggal di Jakarta yaitu dengan bekerja di LP3ES dan bergaul luas
dengan para aktivis LSM, baik dari Jakarta maupun dari luar negeri. LP3ES juga
menarik bagi Gus Dur karena lembaga ini menunjukkan minat yang besar terhadap
dunia pesantren dan mencoba untuk menggabungkannya dengan pengembangan
masyarakat.. Gus Dur banyak menyumbangkan pemikirannya kepada LP3ES mengenai
pembahasan tentang dunia pesantren dan Islam tradisional. Dari lembaga ini ia
belajar mengenai aspek-aspek praktis dan kritis mengenai pengembangan
masyarakat. Kombinasi ini benar-benar cocok baginya.
Pada 1977 ia di dekati dan di tawari jabatan
Dekan Fakultas Ushuluddin pada Universitas Hasyim Asy'ari di Jombang. Gus Dur
ia menerima tawaran ini. Universitas Islam ini diberi nama kakek Gus Dur dan di
dirikan oleh suatu konsorsium pesantren untuk memberikan pendidikan tingkat
Universitas kepada lulusan Pesantren.
Dalam memulai karir politiknya Gus Dur
memulainya dengan terjun dalam organisasi social keagamaan yaitu Nahdlatul
Ulama dan menjabat sebagai pemimpin selama empat belas tahun. Namun kegiatan di
dunia pesantren tidak di tinggalkan, yakni tetap mengasuh pesantren Ciganjur,
Jakarta Selatan. Sebagai konsekwensi
kepindahannya di Jakarta dan kiprahnya di dunia LSM sejak akhir tahun 1970-an,
seperti sudah di singgung, dia mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh maupun
kelompok dengan latar belakang berbeda-beda, dan terlibat dalam berbagai proyek
dan aktivitas sosial.. Kemudian daritahun 1980-1990 berkhidmat di MUI (Majelis
Ulama' Indonesia). Dan, sementara itu, dia juga memasuki pergaulan yang lebih
luas. Pada tahun 1982-1985 Gus Dur masuk sebagai ketua DKJ (Dewan
Kesenian Jakarta), bergaul akrab dengan para pendeta bahkan sampai pada
aktivitas semacam pelatihan bulanan kependetaan protestan, menjadi ketua dewan
juri Festival Film Nasional ditahun 70-an dan 80-an, banyak mendapat kritik
dari kalangan Ulama', baik Ulama' NU maupun yang lainnya.
Karir politik Gus Dur semakin menanjak hal itu
terbukti pada tahun 1998 Gus Dur bersama para tokoh mendirikan sebuah partai
yang dinamakan sebagai Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Puncaknya karir politik
dari seorang Gus Dur yaitu pada tahun 1999 terpilih menjadi presiden Republik
Indonesia yang ke 4 dalam voting secara tertutup dalam sidang paripurna MPR
yang diikuti oleh 691 anggota MPR. Pada saat itu Gus Dur mengalahkan Megawati
Sukarno Putri yang nantinya akan menjadi wakilnya dalam pemerintahan. Selama
menjabat sebagai seorang Presiden banyak membuat kebijakan yang cukup
kontroversial
Masa
keperintahan Gus Dur tidak berlangsung lama hal itu banyaknya oposisi di masa
pemerintahannya serta adanya isu skandal buloggate dan brunaigate. Pada 23 juli
2001 MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati
Soekarnoputri
Setelah tidak menjabat sebagai Presiden lagi,
Gus Dur tetap menjalani aktifitas yang sedia kala sebelum menjadi presiden
yaitu mengabdi kepada masyarakat dengan keterbatasan fisik pada saat itu
dikarenakan sering sakit. Sampai akhirnya Gus Dur wafat pada hari rabu 30
desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangkunkusumo pada pukul 18:45 di karenakan
berbagai penyakit komplikasi yang telah lama diderita.
Bapak Pluralisme dan Humanis Indonesia
Wafatnya Gus Dur bukan berarti semua cerita
tentangnya selesai atau hilang begitu saja. Di mana realita yang kita lihat
saat ini kita dapat melihatnya di mana-mana. Di kaos, kalender bergambar beliau,
banyak diperjualkan orang. Di spanduk, iklan ketika musim kampaye pemilihan
tiba gambar dan pemikiran beliau muncul bersanding dengan logo-logo partai
maupun calon calon pemimpin negri ini. Tapi tak kalah penting pemikiran dan
tindakan beliau juga tak pernah terlupakan. Setelah meninggal sosok Gus Dur
juga di kenang dengan sebutan Bapak Pluralisme di Indonesia.
Gus Dur adalah seorang tokoh yang fenomenal.
Pemikirannya banyak disoroti dunia. Fenomenal beliau karena selalu menawarkan
tentang ide yang kontroversial bagi nalar logika umum dan unik karena dalam
dirinya ada beberapa atributbaik sebagai intelektual ahli ilmu sosial, LSM,
budayawan, dan seorang Kiayi dan khas beliau adalah tokoh yang sangat gigih
dalam membela kepentingan minoritas serta mengkritik mayoritas agar tidak
bersikap sewenang-wenang karena merasa kuat. Banyak kebijakan-kebijakan maupun
tindakan Gus Dur yang membela kaum minoritas. Salah satunya yaitu tentang
kebijakan kepada kaum minoritas Tiong Hoa.Kebijakannya pun disesuaikan dengan
kondisi bangasa Indonesia saat itu.
Indonesia sendiri memiliki berbagai agama dan
aliran kepercayaan. kemajemukan ini
menjadi potensi unik apabila mereka bisa hidup rukun, berdampingan dengan
damai, aman dan tentram. Konsep pluralisme agama mengajarkan tentang kerukunan
antar umat beragama yang diwujudkan dengan mengedepankan sikap saling terbuka,
saling mengerti, memahami dan menerima yang merupakan sikap toleransi antar
umat beragama, sehingga memandang pluralitas agama sebagai kenyataan bahwa kita
berbeda-beda namun tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik (ajaran agama
masing-masing).
Di dalam membangun kehidupan lintas agama, maka
peran Gus Dur juga sangat menonjol. Tentu masih segar dalam
ingatan tentang bagaimana usaha Gus Dur saat masih menjadi presiden Indoneisa
diamana beliau menjadikan Kong Hu Cu sebagai agama resmi di Indonesia sehingga
memiliki status dan kedudukan sama dengan agama lain yang diakui di negeri ini.
Tak hanya itu beliau juga pada Januari
2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur
opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf
Tionghoa pada 23 Juli 2001. Tentunya saat Gus Dur mengeluarkan kebijakan
tersebut tidak terlepas dari cibiran dari sebagian masyarakat. Tapi gusdur
tetap teguh akan membela kaum minoritas yang diaanggap benar dan terpinggirkan.
Kebijakan Gus Dur tersebut tertuang dalam Keppres No. 6 Tahun 2000 tentang
Pencabutan Intruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan
Adat Istiadat China yang mendiskriminasi warga China yang ada di Indonesia.
Ada beberapa ayat Alquran yang selalu dikutip Gus Dur yaitu : Tidak ada paksaan dalam
agama, Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”; dan
Agama (yang diridai) di sisi Allah adalah Islam”. Dari ketiga ayat yang
sering disampaikan tersebut menunjukkan bahwa
Gus Dur memegang teguh dan bersikap konsisten terhadap agamanya. Namun
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Gus Dur menunjukkan sikap yang
berbeda. Dia menunjukkan sikap menghormati terhadap pilihan agama dan keyakinan
orang lain sebagai kenyataan prinsipkebebasan dalam beragama dan berkeyakinan..
Di dalam relasi beragama, Gus Dur
seringkali melepas baju agamanya atau formalisme agamanya, tetapi tetap
berada di dalam dunia keberagamaannya
yang substantif. Hal ini bukanlah sebuah penodaan keyakinan atau bahkan melepas
keyakinan keberagamaan yang sangat dijunjung tinggi, tetapi sebuah
kecintaannnya terhadap dunia kemanusiaan yang memang harus dijaga juga secara
maksimal. Yang saya maksud dengan melepas formalisme atau ―baju‖ agama tersebut
adalah misalnya Gus Dur keluar masuk ke dalam gereja, Vihara atau
bahkan Sinagog dalam kerangka untuk menyambung relasi berbasis kemanusiaan itu. Atau juga pembelaannya terhadap kelompok
agama minoritas yang sering terjadi.
Citra Gus Dur dan Pluralisme adalah dua hal
yang sulit di pisahkan, hal ini dikarenakan beliau seorang yang peduli akan
keberagaman, keanekaragaman dan perbedaan. Sikap beliau mengajarkan tentang
bagaimana sikap toleransi dalam kemajemukan berkehidupan di Indonesia. Namun
sebagian orang juga menyebutkan bahwasanya Gus Dur itu bukanlah sosok pluralism
melainkan adlah sosok yang humanis, hal ini dikarenakan beliau memperjuangkan
bukan pluralismenya melainkan memperjuangkan sisi kemanusiaannya. Seperti
halnya ketika ia membela ahmadiyah, Nasrani, dan orang-orang
termarjinalkanlainnya yang ia perjuangkan bukannnya chinanya, ahmadiyahnya,
nasraninya melainkan sisi kemanusiaannya. Contoh laiinya bagaimana Gus Dur ada
dalam kasus si ratu goyang ngebor inul daratista yang saat itu menjadi headline
media Indonesia secara besar – besaran.
Respon
positif juga disampaikan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono dalam petikan pidato
dalam penutupan upacara kenegaraan di Ponpes Tebuireng. “Sebagai pejuang reformasi,
almarhum telah mengajari kita kepada gagasan gagasan universal mengenai
pentingnya kita sebagai bangsa yang beragam ini menghormati dan menghargai
keadilan. Melalui ucapan, sifat, dan perbuatan beliau, Gus Dur mengobarkan
sekaligus melembagakan penghormatan kita kepada kemajemukan dan identitas yang
tercampur dari perbedaan agama, kepercayaan, etnis, dan kedaerahan. Disadari
atau tidak, sesungguhnya beliau adalah bapak pluralisme dari multikularisme di
Indonesia.”
Terlepas
dari semua itu, ketika kita menyebut
nama Gus Dur seakan kita akan membaca
dan belajar kembali tentang nilai-nilai di balik perkataan, pemikiran maupun
tindaknya yang tak benar benar wafat bersama jasadnya.
0 komentar: